Sabtu, 10 September 2016

PEREMPUAN YANG MENGGENTARKAN REZIM, MARSINAH PAHLAWAN KAUM BURUH

TERSEBUTLAH seorang perempuan yang bernama Marsinah, berasal dari desa Nglundo, Sukomoro, lahir pada tanggal 10 April 1969, ia berasal dari kalangan buruh tani yang kemudian dipaksa mencari pekerjaan di kota akibat lahan pertanian yang semakin sempit dan kemiskinan masyrakat pedesaan. Ia kemudian memperoleh pekerjaan sebagai buruh di sebuah pabrik arloji, PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo, Surabaya. Sosoknya yang selalu dikenang oleh kaum buruh dan aktivis karena kematiannya yang tragis disaat menjalankan protes terhadap perusahaan tempatnya bekerja.
Setelah menghilang selama 3 hari, tubuhnya ditemukan tak bernyawa di hutan di dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, pada tanggal 8 Mei 1993 (yang kemudian dikenal sebagai Hari Marsinah). Hingga hari ini kasusnya masih belum menemukan kejelasan tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.

Ia Dibunuh, Tulang Panggul dan Lehernya Hancur
Dimulai dengan unjuk rasa yang dilancarkan oleh para buruh PT Catur Putra Surya pada tanggal 3 dan 4 Mei, karena kenaikan upah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah setempat sebesar 20 persen gaji pokok tidak kunjung dipenuhi oleh perusahaan. Mereka menuntut kenaikan gaji dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 dan tunjangan sebesar Rp550 perhari. Marsinah, adalah salah seorang buruh yang aktif dalam rapat-rapat dan aksi-aksi tersebut meski pun ia bukan lah anggota serikat buruh karena kesibukannya di kerja-kerja sampingan lainnya demi mengumpulkan duit dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada tanggal 3 Mei, aksi mereka dihalang-halangi oleh Koramil setempat, tapi semangat para buruh tidak surut, malah pada tanggal 4 Mei mereka melancarkan aksi mogok total dengan 12 tuntutan mereka, termasuk tuntutan upah, tunjangan dan pembubaran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pada tanggal 5 Mei, Marsinah menjadi salah satu wakil buruh dalam perundingan dengan pihak perusahaan.
Namun pada siang hari tanggal 5 Mei, sebanyak 13 orang buruh rekan Marsinah dibawa ke Kodim. Disana mereka diinterogasi dibawah tuduhan melakukan rapat gelap, penghasutan dan dipaksa untuk menandatangi penyataan mengundurkan diri dari perusahaan. Demi mengetahui hal yang dinilainya janggal ini, Marsinah mendatangi markas Kodim seorang diri untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya.
Sepulangnya dari Kodim, keberadaan Marsinah tidak diketahui selama 3 hari hingga akhirnya ditemukan tidak bernyawa pada tanggal 8 Mei 1993, pada saat itu usianya 24 tahun. Kematiannya menyedot perhatian masyarakat luas, bahkan di tahun yang sama pula, ia memperoleh penghargaan Yap Thiam Hiem.
Dibawah sorotan masyarakat, pada tanggal 30 September 1993, sebuah tim penyidik dibentuk oleh pemerintah Jawa Timur. Hasilnya, 10 orang tersangka, yang salah satunya adalah anggota TNI, ditangkap dan diadili hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung dan kemudian divonis tidak bersalah dan dibebaskan. Pada proses peradilan ini pun menyimpan banyak kejanggalan, misalnya saja penangkapan 8 petinggi PT Catur Putra Surya yang misterius dan pengalihan alibi menjadi pembunuhan dan pemerkosaan.
Di proses peradilan disebutkan bahwa Marsinah mengalami perkosaan, namun yang tidak pernah diungkap ke pengadilan saat itu adalah bahwa tidak ditemukan bukti-bukti kerusakan pada tubuh Marsinah yang mengarah kepada tindak pemerkosaan. Pada saat tubuhnya diotopsi ulang, hasil forensik menyatakan bahwa tulang panggul dan leher Marsinah hancur dan bukan disebabkan oleh pukulan benda tumpul. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan dan menganggap ada rekayasa dalam kasus pembunuhan Marsinah dan proses peradilannya.
Kasus Marsinah sudah pernah berusaha diangkat kembali oleh berbagai kalangan, namun tidak juga menunjukkan titik terang, hal ini menunjukkan betapa terpinggirnya posisi buruh dan rakyat kecil di dalam proses peradilan Indonesia. Sementara itu, rekan-rekan Marsinah di PT. Catur Putra Surya melanjutkan perjuangan dan membentuk Serikat Buruh Kerakyatan yang berafiliasi kepada Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI).

Jumat, 09 September 2016

  
  Lirik lagu marjinal - hukum rimba


hukum adalah lembah hitam
tak mencerminkan keadilan
pengacara juri hakim jaksa
masih ternilai dengan angka (uang)

hukum telah dikuasai 
oleh orang orang beruang
hukum adalah permainan 
tuk menjaga kekuasaan 

maling-maling kecil dihakimi
maling - maling besar dilindungi 
maling-maling kecil dihakimi
maling - maling besar dilindungi 

hukum adalah komoditas
barangnya para tersangka
ada uang kau kan dimenangkan
gak ada uang you say good bye

dimanakah adanya keadilan
bila masih memandang golongan
yang kuat tselalu berkuasa
yang lemah pasti merana


maling-maling kecil dihakimi
maling - maling besar dilindungi 
maling-maling kecil dihakimi
maling - maling besar dilindungi

Lirik lagu Marjinal - Negri ngeri


Lihatlah negeri kita
Yang subur dan kaya raya
Sawah ladang terhampar luas samudera biru
Tapi rataplah negeri kita
Yang tinggal hanyalah cerita
Cerita dan cerita terus cerita… cerita terus
Pengangguran merebak luas
Kemiskinan merajalela
Pedagang kaki lima tergusur teraniaya
Bocah-bocah kecil merintih
Melangsungkan mimpi dijalanan
Buruh kerap dihadapi penderitaan
Inilah negeri kita
Alamnya kelam tiada berbintang
Dari derita dan derita, menderita… derita terus
Sampai kapankah derita ini? Au ah!
Yang kaya darah dan air mata
Yang senantiasa mewarnai bumi pertiwi
Dinodai , digagahi, dikuasai
Dikangkakangi ,dihabisi ,para penguasa rakus

            

lirik lagu Marjinal - jalanan adalah sekolah


Jalanan adalah sekolah


bagi kami kreasi bukan tradisi melainkan harta yang tak terbeli
dan bagi kami jalanan adalah sekolah tapi ingat jangan anggap kami sampah

banyak orang bicara semaunya tentang cara hidup kita
tak perduli apa kata mereka
yang penting bisa berkarya dan terus

berkarya tuk hidupkan dunia, dengan seni dan peran budaya
bergerak berontak itu biasa karna keadilan tak ada
jangan lihat kami sebelah mata

mengingat semua hal yang kau katakan
tentang kami dan jalanan
jangan kau anggap sebagai pelarian karna disini kami tumbuh dan terus


berkarya tuk hidupkan dunia, dengan seni dan peran budaya
bergerak berontak itu biasa karna keadilan tak ada
jangan lihat kami sebelah mata


bagi kami kreasi bukan tradisi melainkan harta yang tak terbeli
dan bagi kami jalanan adalah sekolah tapi ingat jangan anggap kami sampah